TEMPE

 

Tempe diminati oleh masyarakat karena harganya murah dan memiliki kandungan protein nabati yang tinggi.  Proses fermentasi menyebabkan tempe memiliki beberapa keunggulan dibandingkan kacang kedelai. Pada tempe, terdapat enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, sehingga protein, lemak dan karbohidrat menjadi lebih mudah dicerna. Kapang yang tumbuh pada tempe mampu menghasilkan enzim protease untuk menguraikan protein menjadi peptida dan asam amino bebas (Astuti et al., 2000).  

Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dijadikan untuk memproduksi tempe,  40% untuk memproduksi tahu dan 10% untuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain). Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diperkirakan mencapai sekitar 6,45 kg. Umumnya, masyarakat Indonesia mengkonsumsi tempe sebagai panganan pendamping nasi. Dalam perkembangannya, tempe diolah dan disajikan sebagai aneka panganan siap saji yang diproses dan dijual dalam kemasan. Ada juga contoh lain natto di Jepang, dau chi di China dan kinema di Nepal dan India, dimana diproduksi dengan bakteri Bacillus sp, sedangkan tempe di fermentasi dengan Rhizopus sp (Badan Standarisasi Nasional, 2009).

Sejumlah penelitian yang diterbitkan pada tahun 1940 sampai dengan 1960 menyimpulkan bahwa banyak tahanan Perang Dunia II pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia berhasil terhindar dari disentri dan busung lapar karena tempe. Tempe sebagai pelengkap hidangan ternyata memiliki kandungan dan nilai cerna yang lebih baik dibandingkan dengan kedelai (Deliani, 2008).

Dua kelompok vitamin terdapat pada tempe, yaitu larut air (vitamin B kompleks) dan larut lemak (vitamin A, D, E, dan K). Tempe merupakan sumber vitamin B yang sangat potensial. Jenis vitamin yang terkandung dalam tempe antara lain vitamin B1 (thiamin), vitamin B2 (riboflavin,  asam pantotenat, asam nikotinat (niasin), vitamin B6 (piridoksin), dan B12 (sianokobalamin). Vitamin B12 umumnya terdapat pada produk-produk hewani dan tidak dijumpai pada makanan nabati (sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian), namun tempe mengandung vitamin B12 sehingga tempe menjadi satu-satunya sumber vitamin yang potensial dari bahan pangan nabati. Okada et al., 1989 melaporkan kandungan vitamin B12 pada tempe segar yang berasal dari Indonesia yaitu  4.6 μg/100 g, penilaian dari persiapan tempe dengan R. oligosporus NRRL 2710 di Jepang yaitu 0.03–0.06 μg/100 g. Vitamin ini tidak diproduksi oleh kapang tempe, tetapi oleh bakteri kontaminan seperti K.pneumoniae dan C.freundi.

Dengan adanya vitamin B12 pada tempe, para vegetarian tidak perlu merasa khawatir akan kekurangan vitamin B12, sepanjang mereka melibatkan tempe dalam menu hariannya (Badan Standarisasi Nasional, 2009). Vitamin B12 aktivitasnya meningkat sampai 33 kali selama fermentasi, riboflavin naik sekitar 8-47 kali, piridoksin 4-14 kali, niasin 2-5 kali, biotin 2-3 kali, asam folat 4-5 kali, dan asam pantotenat 2 kali lipat. Vitamin B12 diperlukan dalam pembentukan sel-sel darah merah. Kekurangan vitamin ini mengakibatkan terjadinya anemia pernisiosa (Astawan, 2004).

Di dalam tempe juga ditemukan suatu zat antioksidan dalam bentuk isoflavon yang sangat dibutuhkan tubuh untuk menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas. Dalam kedelai terdapat tiga jenis isoflavon, yaitu daidzein, glisitein, dan genistein. Pada tempe, disamping ketiga jenis isoflavon tersebut juga terdapat antioksidan faktor II (6,7,4-trihidroksi isoflavon) yang mempunyai sifat antioksidan paling kuat dibandingkan dengan isoflavon dalam kedelai. Antioksidan ini disintesis pada saat terjadinya proses fermentasi kedelai menjadi tempe oleh bakteri M.luteus dan Coreyne bacterium (Paimin, 2005). Penuaan (aging) dapat dihambat bila dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari mengandung antioksidan yang cukup. Karena tempe merupakan sumber antioksidan yang baik, konsumsinya dalam jumlah cukup secara teratur dapat mencegah terjadinya proses penuaan dini. Isoflavon merupakan senyawa antioksidan yang terdapat dalam kedelai (Potter, 1995) dan tempe (Kasmidjo, 1993). Potter (1995) melaporkan bahwa isolat kedelai mengandung isoflavon yang dapat menurunkan kolestrol LDL dan menaikkan kolestrol HDL dibandingkan dengan pemberian kasein. Meningkatnya kadar glukosa pada fermentasi tempe menghasilkan karbohidrat kompleks seperti starch, stacchose, raffinose dan sukrosa pada kedelai menurun pada proses pengolahan tempe (Astuti, 2000).

Selain sumber protein berkualitas tinggi, tempe dikenal sebagai sumber serat (dietary fiber) yang baik. Kandungan serat dalam tempe cukup tinggi, yaitu sekitar 8-10%. Hal ini berarti bahwa dalam setiap 100 gram tempe akan menyumbangkan sekitar 30% dari jumlah serat yang dianjurkan dikonsumsi oleh National Cancer Research (Badan Standarisasi Nasional, 2009).

 Hasil penelitian tersebut dipublikasikan dengan perincian sebagai berikut:

Tabel 1. Kandungan Gizi Tempe

Zat Gizi

Satuan

Komposisi zat gizi 100 gram BDD

Kedelai

Tempe

Energi

(kal)

381

201

Protein

(gram)

40,4

20,8

Lemak

(gram)

16,7

8,8

Hidrat arang

(gram)

24,9

13,5

Serat

(gram)

3,2

1,4

Abu

(gram)

5,5

1,6

Kalsium

(mg)

222

155

Fosfor

(mg)

682

326

Besi

(mg)

10

4

Karotin

(mkg)

31

34

Vitamin B1

(mg)

0,52

0,19

Air

(gram)

12,7

55,3

BDD*

(%)

100

100

Sumber: Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia Departemen Kesehatan RI Dir.Bin. Gizi Masyarakat dan Puslitbang Gizi,1991

*BDD = Berat yang dapat dimakan

 

Namun, secara kualitatif nilai gizi tempe lebih tinggi karena tempe mempunyai nilai cerna yang lebih baik. Hal ini disebabkan kadar protein yang larut dalam air akan meningkat akibat aktivitas enzim Proteolitik. Konsumsi kedelai mampu mencegah jumlah penyakit yang ditimbulkan oleh mikroba. Ternyata ekstrak tempe yang digunakan dalam percobaannya amat efektif untuk membunuh bakteri Bacillus subtilis, Vibrio cholera ettor, dan Staphylococcus aureus. Hasil riset memperlihatkan, ekstrak tempe dalam kadar larutan memiliki aktivitas anti mikroba yang tinggi, dimana kepekaan daya hambat tertinggi adalah pada bakteri Vibrio cholerae ettor. Dengan demikian, ekstrak tempe dimungkinkan pengembangannya untuk antibiotik di masa depan (Sarwono, 1987).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH FORMAT Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PKPLH)

ADAT ISTIADAT DAN BUDAYA LOKAL DI PULAU KISAR

PERNYATAAN KESANGGUPAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (PKPLH) PART 2

ISOFLAVON PADA KEDELAI DAN KHASIAT FARMAKOLOGI

DNA FINGERPRINTING: MENGUNGKAP KEBENARAN KASUS FORENSIK

VITAMIN B12 DAN FUNGSINYA

Pemanfaatan Pupuk Organik Cair

ENZIM