DNA FINGERPRINTING: MENGUNGKAP KEBENARAN KASUS FORENSIK
DNA FINGERPRINTING:
MENGUNGKAP KEBENARAN KASUS FORENSIK
Seiring dengan perkembangan ilmu biologi molekuler, DNA menjadi topik utama yang
sering dibahas dalam pemberitaan di media. DNA merupakan materi genetik yang membawa
informasi yang dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di dalam sel
manusia, DNA dapat ditemukan di dalam inti sel dan mitokondria. Di dalam inti sel, DNA
membentuk suatu untaian yang disebut kromosom. Setiap sel manusia yang normal memiliki
23 pasang kromosom yang terdiri dari 22 pasang kromosom somatik (autosom) dan 1 pasang
kromosom seks (XX atau XY).
Perkembangan analisis DNA memiliki beberapa keunggulan, antara lain sensitivitas dan
spesifisitas tinggi, pilihan sampel lebih beragam, serta dapat diperbanyak (digandakan).
Dewasa ini, pemanfaatan analisis DNA memberikan kontribusi yang besar di berbagai bidang
kehidupan, antara lain bidang forensik. Dalam bidang forensik, analisis DNA dapat
digunakan untuk mengetahui hubungan biologis antar individu dalam sebuah keluarga dan
juga mengidentifikasi pelaku kejahatan atau identifikasi individu dalam kasus bencana
massal. Dalam suatu kasus kriminal, pembuktian secara ilmiah merupakan suatu keharusan
sehingga diharapkan proses peradilan hukum dapat dilaksanakan secara tegas dan adil. Oleh
karena itulah, DNA forensik menjadi salah satu kunci penting dalam upaya pembuktian
ilmiah suatu perkara kasus.
DNA forensik merupakan cabang ilmu forensik yang juga memanfaatkan ilmu biologi
molekuler untuk kepentingan penegakkan hukum dan keadilan. DNA menjadi instrumen
penting dalam investigasi sebuah kasus sekaligus sebagai konfirmasi suatu kebenaran. Setiap
individu memiliki DNA yang unik, yang berbeda antara orang yang satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, profil DNA (DNA fingerprint) dapat digunakan sebagai penanda genetik
untuk setiap individu dan dapat digunakan sebagai bukti kuat dalam kasus di pengadilan.
Analisis DNA fingerprinting
Dalam DNA forensik dikenal istilah DNA fingerprinting atau DNA profiling, yaitu teknik
untuk mengidentifikasi individu berdasarkan profil DNA-nya. Teknik DNA fingerprinting
dikembangkan pada tahun 1984 oleh Alec Jeffreys untuk identifikasi individu. Hingga saat
ini, aplikasi DNA fingerprinting banyak dimanfaatkan untuk identifikasi hubungan biologis
antar individu dalam keluarga, misalnya pada tes paternitas, maternitas, atau antar kerabat
(kinship). Penerapan tersebut dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan seperti
perwalian dan tunjangan anak, adopsi, imigrasi, dan warisan (Philippus 2014). Selain itu
dapat digunakan untuk pembuktian tersangka pelaku kejahatan berdasarkan hasil analisis
DNA pada barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dan identifikasi
identitas jenazah korban maupun pelaku yang sudah tidak dapat dikenali melalui pencocokan
profil DNA pelaku atau korban dengan terduga keluarga. Hampir semua sampel biologis
dapat dipakai untuk analisis DNA, seperti darah, usapan pipi bagian dalam (buccal swab),
rambut beserta akarnya, tulang, kulit, ataupun cairan sperma.
Dalam tes DNA, dapat digunakan DNA inti dan DNA mitokondria. DNA inti diturunkan
dari kedua orang tua, sedangkan DNA mitokondria diturunkan secara maternal. Pada
identifikasi kasus kejahatan, penggunaan DNA bergantung pada barang bukti yang
ditemukan di TKP. Analisis DNA mitokondria umumnya digunakan untuk sampel yang
jumlahnya sedikit dan sudah terdegradasi karena sel manusia memiliki ribuan salinan DNA
mitokondria sehingga memungkinkan untuk memberikan sensitivitas yang lebih baik
dibandingkan dengan analisis STR (Holland et al. 1993; Carracedo et al. 2000).
Pemeriksaan DNA fingerprinting dalam bidang forensik dapat dilakukan dengan proses
penggandaan (PCR based), yaitu dengan analisis Short Tandem Repeat (STR) dan tanpa
proses penggandaan, yaitu dengan teknik southern blotting. Pada teknik southern blotting,
perlu adanya peran dari enzim restriksi yang dapat memotong DNA secara spesifik pada
daerah tertentu. Hasil potongan fragmen DNA tersebut pada akhirnya dapat divisualisasi pada
film X-ray dan dibandingkan pola pemotongannya. STR merupakan sekuens DNA berulang
dengan panjang 2-6 pasang basa (pb). Sekuens inilah yang dapat digunakan sebagai marka
genetik dalam analisis DNA fingerprinting (Crawford & Beaty 2013). Adanya variasi jumlah
pengulangan sekuens DNA tersebut yang dapat membedakan profil DNA individu satu
dengan yang lainnya. Seorang individu akan mewariskan satu salinan STR dari masing-
masing orangtuanya. Oleh karena tingkat variasinya yang tinggi antar individu, identifikasi
DNA dengan marka STR merupakan prosedur tes DNA yang sensitif.
Pada tahun 1997, Biro Federal Investigasi Amerika Serikat (FBI) mengeluarkan basis data
lokal dan nasional untuk profil DNA yang kemudian dikenal dengan istilah Combined DNA
Index System (CODIS), yang digunakan untuk mendukung penegakkan keadilan suatu kasus
kejahatan. FBI mengembangkan 13 marka STR yang digunakan untuk menganalisis profil
DNA individu, yang dikenal dengan 13 CODIS (Butler 2005). Namun demikian, seiring
dengan perkembangan dalam bioteknologi molekuler, jumlah marka STR yang digunakan
hingga saat ini sudah semakin banyak.
Selain STR, dikenal pula Y-STR, yaitu STR yang terdapat pada kromosom Y. Analisis Y-
STR dapat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan kekerabatan yang spesifik dari
seorang individu berdasarkan garis keturunan ayah (paternal), menguji bukti dari korban
kekerasan seksual, verifikasi keberadaan Y amelogenin pada pria, serta investigasi orang
hilang (Butler 2005).
Contoh aplikasi DNA fingerprinting
Salah satu pemanfaatan DNA fingerprinting adalah pada pemecahan kasus pelaku bom
bunuh diri di depan Kedutaan Besar Australia, Jakarta atau yang dikenal dengan peristiwa
Bom Kuningan. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 9 September 2004 yang
mengakibatkan sekitar 10 korban tewas dan 182 korban luka. Ledakan bom berasal dari
sebuah mobil yang dikendarai oleh pelaku dan mobil tersebut hancur tanpa menyisakan
potongan tubuh dengan ukuran yang signifikan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
si pelaku. Dikarenakan kondisi sampel yang sudah hancur maka untuk mengidentifikasi
pelaku bom bunuh diri tersebut digunakan analisis DNA mitokondria dan STR autosomal
(Sudoyo et al. 2008).
Bagaimana cara identifikasinya?
Strategi awal yang dilakukan dalam identifikasi tersebut yaitu memisahkan antara sampel
korban dengan si pelaku. Investigasi dilakukan dengan asumsi bahwa tubuh pelaku yang
sangat dekat dengan bom telah hancur menjadi fragmen kecil. Berdasarkan hasil investigasi
polisi, dengan kapasitas bom yang besar dan kedekatan posisi pelaku dengan bom, maka
disimpulkan bahwa tubuh pelaku yang sangat dekat dengan ledakan bom menyebabkan
potongan tubuhnya tersebar lebih jauh dibandingkan dengan tubuh korban yang berada lebih
dari 10 m dari sumber bom tersebut (Sudoyo et al. 2008). Lintasan ledakan dapat diprediksi
dari sumber bom dan sampel potongan tubuh pelaku dikumpulkan berdasarkan lintasan
ledakan bom tersebut, yang kemudian diidentifikasi dengan DNA mitokondria dan STR
autosomal.
Dalam kasus itu, analisis DNA mitokondria diperlukan untuk identifikasi sampel yang
sedikit ataupun yang sudah terdegradasi. Berdasarkan hasil analisis DNA mitokondria,
sampel yang dikumpulkan dari TKP menunjukkan kecocokan profil dengan salah satu
terduga ibu. Sebagai konfirmasi akhir identifikasi, dilakukan analisis STR autosomal.
Analisis STR tersebut menggunakan marka genetik yang telah digunakan secara
internasional. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa DNA inti diwariskan dari
kedua orangtua, karena itu, dalam analisis profil STR ini dilakukan pencocokkan profil DNA
pelaku dengan terduga orangtua dan hasilnya menunjukkan bahwa profil pelaku cocok
dengan terduga orangtua. Dengan demikian, dari hasil analisis DNA mitokondria dan STR
autosomal dapat diketahui identitas pelaku peristiwa Bom Kuningan tersebut.
Aplikasi lain DNA fingerprinting
Selain digunakan dalam kasus yang berkaitan dengan forensik manusia, pemanfaatan
analisis DNA fingerprinting juga dapat diaplikasikan untuk kasus forensik satwa liar.
Maraknya aksi perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar merupakan kasus yang banyak
menggunakan aplikasi DNA fingerprinting. Dalam hal ini, DNA fingerprinting dapat
membantu identifikasi satwa liar yang mungkin sudah tidak dapat diidentifikasi secara
morfologi karena sudah mengalami pemrosesan. Identifikasi itu dapat dilakukan dari
berbagai macam barang bukti, di antaranya darah, feses, tulang, kulit, taring, kuku, pipa
rokok gading, sirip hiu, empedu, kerapas penyu, tanduk rusa, serta bagian tubuh lain yang
dibuat menjadi berbagai aksesoris.
Untuk identifikasi individu marka yang digunakan adalah DNA inti (mikrosatelit),
sedangkan untuk identifikasi spesies dan subspesies digunakan marka DNA mitokondria.
Hingga saat ini, analisis secara genetik masih terus dikembangkan untuk tujuan forensik
satwa liar maupun konservasi dan untuk ke depannya diharapkan agar teknik ini dapat
semakin membantu menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan
satwa liar terancam punah (endangered species). Dengan demikian, DNA fingerprinting
sangat bermanfaat dalam pengungkapan kebenaran serta pemecahan kasus forensik, baik
dalam forensik manusia maupun satwa liar.
Referensi
Butler JM. 2005. Forensic DNA Typing: Biology, Technology, and Genetics of STR Markers.
Ed ke-2. New York: Elsevier Academic Pr.
Carracedo A, Bär W, Lincoln P, Mayr W, Morling N, Olaisen B, Schneider P, Budowle B,
Brinkmann B, Gill P, Holland M, Tully G, Wilson M. 2000. DNA commission of the
International Society for Forensic Genetics: guidelines for mitochondrial DNA typing.
Forensic Sci Int 110:79-85.
Crawford MH, Beaty KG. 2013. DNA fingerprinting in anthropological genetics: past,
present, future. Investigative Genet 4:23.
Holland MM, Fisher DL, Mitchell LG, Rodriguez WC, Canik JJ, Merril CR, Weedn VW.
1993. Mitochondrial DNA sequence analysis of human skeletal remains: identification of
remains from the Vietnam war. J Forensic Sci 38:542-553.
Philippus LRI. 2014. [terhubung berkala]. Tes DNA idk.
https://www.scribd.com/doc/223374917/Tes-DNA-idk [18 Nov 2014].
Sudoyo H, Widodo PT, Suryadi H, Lie YS, Safari D, Widjajanto A, Kadarmo DA, Hidayat S,
Marzuki S. 2008. DNA analysis in perpetrator identification of terrorism-related disaster:
suicide bombing of the Australian embassy in Jakarta 2004. Forensic Sci Int: Genetics
2:231-237.
Komentar
Posting Komentar